Felic Setiawan, Punya Bekal Istimewa Atasi Tantangan “Transfer Pricing”

Setelah menempuh pendidikan Administrasi Bisnis di University of Buffalo, New York, Amerika Serikat pada tahun 2009, Felic Setiawan mengukir karier sebagai konsultan pajak berspesialisasi transfer pricing di 2 kantor big four selama 10 tahun. Transfer Pricing Partner GNV Consulting Services ini meyakini bahwa kesempatan menggali keilmuan, pengalaman, dan networking dari negara maju merupakan bekal istimewa dalam mengatasi tantangan transfer pricing di tanah air.

Seperti diketahui, isu transfer pricing semakin menjadi sorotan banyak negara pada beberapa dekade, utamanya karena skema ini diasosiasikan extrem sebagai praktik untuk menggerus basis pajak dan pengalihan laba (base erosion and profit shifting/ BEPS). Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menyebut BEPS telah menggerus penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) badan global sekitar 4 hingga 10 persen. Fenomena ini pun direspons oleh OECD dan G20 dengan menerbitkan 15 Rencana Aksi—yang beberapa produk konsensus tersemat dalam Pilar I dan Pilar II.

“Saya melihat bidang transfer pricing sangat internasional, karena semua negara mengacu kepada suatu guidelines yang sama sebenarnya, yaitu OECD Transfer Pricing Guidelines atau United Nations Transfer Pricing Guidelines. Pada tahun 2010, saya pulang ke Indonesia, transfer pricing merupakan suatu bidang yang sangat relevan dan baru. Akhirnya saya memutuskan untuk berkarier di bidang ini, bidang transfer pricing, karena masih sesuai dengan skill dan pendidikan (Administrasi Bisnis)” ungkap Felic yang juga alumnus Diploma Kehormatan Tinggi Broward College, Florida, Amerika Serikat, tahun 2006 – 2008 ini kepada Pajak.com, di kantor GNV Consulting Services, Gedung AIA Center, kawasan Sudirman, (21/6).

Dalam memorinya, isu transfer pricing di Indonesia kian santer pada tahun 2010 karena menggeliatnya perusahaan penanaman modal asing (PMA) yang berinvestasi, kemajuan digitalisasi, dan bergeloranya perdagangan internasional. Secara konseptual, transfer pricing ini menyangkut hak pemajakan yang dikenakan oleh PMA tersebut.

“Perusahaan PMA akan melakukan beberapa transaksi dengan afiliasinya, baik mother company atau sister company. Pada saat transaksi afiliasi dilakukan, maka ada unsur – unsur transfer pricing yang harus dianalisis, ‘apakah transaksi itu sudah wajar atau transaksi itu tidak wajar?’, jelas Felic.

Praktik transfer pricing pada akhirnya mendorong otoritas pajak di Indonesia semakin gencar membangun infrastruktur regulasi yang menguji penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (PKKU)Adapun PKKU merupakan prinsip yang membandingkan kondisi dan indikator harga transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa dengan kondisi dan indikator harga transaksi independen yang sama atau sebanding.

“Sebagai konsekuensinya, Wajib Pajak semakin dituntut mematuhi aturan, yang tidak jarang menimbulkan potensi sengketa atau permasalahan-permasalahan terkait transfer pricing,” imbuh Felic.

Di sisi lain, ia berpandangan bahwa aturan mengenai transfer pricing terus bergerak dinamis mengikuti perkembangan zaman, dimulai dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PER) Nomor 43 Tahun 2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi antara Wajib Pajak dengan Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa (sebagaimana dirubah terakhir oleh PER Nomor 32 Tahun 2011), PER Nomor 22 Tahun 2013, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 50 Tahun 2013, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor Tahun 2016, sampai dengan PMK Nomor 172 Tahun 2023. Untuk itu, diperlukan peran strategis konsultan pajak untuk memberikan solusi terbaik bagi kedua belah pihak—dengan tetap memegang teguh perundang-undangan.

“Tantangan permasalahan transfer pricing adalah memiliki banyak sekali aturan. Apalagi transfer pricing bukan bidang yang mudah untuk dimengerti, cukup kompleks. Kita harus keep up to date dengan peraturan – peraturan internasional. Maka, bicara dari perspektif Wajib Pajak, banyak yang belum mengerti lebih dalam terkait peraturan-peraturan tersebut, apa saja yang mereka harus lakukan untuk memenuhi peraturan. Untuk itu, kami di sini terus membantu Wajib Pajak mendalami lebih jauh mengenai transfer pricing,” ungkap pemilik lisensi Transfer Pricing – Advanced Diploma in International Taxation (ADIT) issued by Chartered Institute of Taxation (CIOT) ini.

Atasi permasalahan “transfer pricing” di “big four” 

Seluruh relevansi dan urgensi itu membuat Felic semakin memantapkan hati untuk berkontribusi membantu Wajib Pajak memahami transfer pricing, baik memitigasi maupun menyelesaikan permasalahannya. Pada tahun 2010, ia pun memulai karier sebagai konsultan pajak dengan spesialisasi penanganan transfer pricing di kantor big four asal Inggris.  Kala itu, Indonesia baru memasuki babak baru reformasi regulasi di bidang transfer pricing melalui penerbitan PER Nomor 43 Tahun 2010.

“Di tahun 2010 isu transfer pricing di Indonesia baru saja menjadi trending topic, bisa dibilang begitu. Karena PER Nomor 43 Tahun 2010 mengatur banyak sekali terkait hal-hal langsung mengenai transfer pricing di Indonesia. Bisa dibilang, saya menjadi pionir di tim untuk meng-handle transfer pricing di big four itu. Walaupun, sebenarnya secara peraturan, transfer pricing (di Indonesia) sudah ada semenjak tahun 1993 melalui KEP-01 dan SE-04,” kenang Felic.

Kapasitas dan kompetensinya menuntun langkah Felic untuk menangani masalah transfer pricing di kantor big four lain—yang juga berkantor pusat di Inggris.  Dua pengalaman ini ia syukuri sebagai keistimewaan untuk menjadi fondasi dalam membantu Wajib Pajak memecahkan masalah sengketa transfer pricing.

“Bekerja di big four itu membuat saya mendapatkan pengalaman yang berharga, dari segi network yang sangat luas. Karena setiap big four, mayoritas ada kantornya di setiap negara. Dari sana, saya mendapatkan banyak sekali input secara internasional perihal teknis dan nonteknis mengenai transfer pricing. Artinya, saya mempunyai pengalaman dan kesempatan untuk berdiskusi. Secara nonteknis, saya melihat banyak sekali skill-skill management yang dapat saya pelajari, how big four firms operate things, manage its people, dan lain-lain. Saya juga belajar meng-handle karyawan, tim, dan bagaimana men-set up tim secara efficient dan practical, serta bagaimana cara-cara untuk menangani permasalahan dari klien. Semua itu yang akhirnya saya kembangkan di GNV Consulting Services,” ungkap Felic.

Magnet perihal transfer pricing kian menarik bagi Felic. Menurutnya, keilmuan pada bidang ini is a neverending learning. Peraturan yang dinamis, perbedaan permasalahan di setiap industri, dan kompleksitas aturan di berbagai negara, menjadi bahan bakarnya untuk terus menyelami lautan transfer pricing. 

“Saya mendapatkan kesempatan untuk berteman dan memiliki networking secara internasional—contohnya berdiskusi untuk menanyakan kondisi transfer pricing di Malaysia atau Singapura, bagaimana perkembangannya. Tentu saya juga meningkatkan kapasitas dengan seminar dan menguji keahlian, sehingga saya mendapatkan lisensi dari ADIT. Semua untuk semakin meningkatkan kompetensi mengenai transfer pricing,” ungkapnya.

Seirama dengan itu, Felic juga menyadari pentingnya berdiskusi dan memperoleh pemahaman dari sudut pandang Direktorat Jenderal Pajak (DJP) agar mendapatkan perspektif pentahelix. Dengan begitu, diharapkan mampu memberikan solusi terbaik bagi Wajib Pajak seraya tetap berpegang teguh pada regulasi. Akhirnya, padu-padanan tersebut menjadi paket kompletnya dalam meneruskan kariernya di GNV Consulting Services saat ini.

“Saat ini klien-klien kami notabene adalah industri expert, kita juga mendapatkan input-input bagaimana perspektif dari industri. Jadi, sangat luas sekali sebenarnya untuk mendapatkan skill atau keep up to date terkait dengan kemampuan mengatasi permasalahan transfer pricing secara baik. Menurut saya skill penting, namun tidak melebihi pentingnya integritas dan tanggung jawab, sesuai dengan visi dan misi GNV Consulting Services,” ungkapnya.

Akar permasalahan “transfer pricing” dan solusinya

Dengan demikian, Felic meyakini, pemecahan permasalahan transfer pricing dilakukan dengan menyerap berbagai perspektif dari pemangku kepentingan. Ia kembali menegaskan bahwa Wajib Pajak dan DJP perlu saling belajar agar diperoleh keseragaman pemahaman aturan.

“Solusi untuk memecahkan tantangan utama, yakni bagaimana perusahaan -perusahaan mengikuti aturan yang cukup kompleks dan dinamis. Maka, diharapkan perusahaan – perusahaan menyadari pentingnya pemahaman atas peraturan sehubungan transfer pricing, seperti diketahui pemerintah baru mengeluarkan PMK Nomor 172 Tahun 2023,” jelas Felic.

Hal baru dalam PMK Nomor 172 Tahun 2023

Ia mengapresiasi infrastruktur regulasi transfer pricing yang semakin mapan di Indonesia. Felic pun membedah hal baru dalam PMK Nomor 172 Tahun 2023, salah satunya terkait dengan transaksi finansial.

“Itu adalah hal yang baru di Indonesia, bahkan di OECD Guidelines di tahun 2020 baru memperkenalkan pedoman untuk menganalisis transaksi finansial. Di PMK Nomor 172 Tahun 2023 mengatur transaksi finansial yang mengadopsi OECD Guidelines. Karena mengharuskan Wajib Pajak melakukan (pengujian atas) transaksi finansial. Contohnya, untuk pinjam – meminjam, intercompany loan, mereka harus memenuhi syarat-syarat tertentu agar transaksi afiliasi loan diakui di Indonesia, khususnya biayanya—mungkin interest expense dan lain – lain,” jelas Felic.

“PMK Nomor 172 Tahun 2023 mempertegas kewajiban perusahaan untuk menganalisis ulang perjanjian yang ada agar sesuai dengan regulasi di Indonesia,” imbuh Felic.

Selain itu, PMK Nomor 172 Tahun 2023 turut menegaskan valuasi yang wajar dan kewajiban mendokumentasikan metode yang digunakan dalam menentukan transfer pricing, utamanya terkait harga aset tidak berwujud.

“Bicara mengenai aset tidak berwujud, dalam konteks disini adalah intangible property. Contohnya adalah hak paten, copyright, trademark dan lain – lain. Karena memang bisnis semakin berkembang, banyak perusahaan – perusahaan yang menitikberatkan intangible property sebagai bagian terpenting dalam bisnis merekaBerbeda dengan bisnis – bisnis di tahun 1980-an yang mungkin lebih menitikberatkan aset yang berwujud, seperti mesin,” jelas Felic.

Menurut pandangannya, untuk mendapatkan nilai kewajaran dalam melisensikan ulang intangible properties ke dalam bentuk penagihan royalti perlu mengetahui nilai valuasinya.

“Banyak sekali cara untuk menentukan valuasi, ada menggunakan metode appraisal atau menggunakan profit split method. Belum lagi menentukan berapa nilai trademark mereka, berapa nilai teknologi mereka, apabila dilisensikan kembali kepada perusahaan – perusahaan lain sehingga menjadi suatu transaksi afiliasi. Itu penting agar kita mengetahui berapa nilai wajar yang harus ditagihkan oleh intangable properties owner,” pungkas Felic.

 

Author : Aprilia Hariani